PEMBUNUHAN PERTAMA DI DUNIA
Sesungguhnya, wajib atas setiap muslim mengimani
segala yang diberitakan di dalam Al-Qur’an. Termasuk dalam hal ini, kisah dua
putra Adam yang dikisahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’anul Karim.
Kisah ini menjelaskan betapa buruknya akibat
kedengkian, kezaliman, dan kejahatan serta permusuhan dalam kisah dua putra
Adam tersebut, baik pemberian nama mereka itu shahih atau tidak.[1]
Baik disebabkan perebutan calon istri, sebagaimana
dinukil sebagian ulama, ataukah sebab lainnya. Yang jelas, tujuannya adalah
kita memahami sebab dan akibat yang sama berikut hukum yang diberlakukan di
balik kisah tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (Al-Maidah: 27-31):
Ceriterakanlah kepada mereka kisah
kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya
mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua
(Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku
pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban)
dari orang-orang yang bertakwa. Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku
untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu
untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam.
Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan
dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian
itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.”
Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya
menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah (Habil). Maka
jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi. Kemudian Allah menyuruh
seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya
(Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil:
“Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini,
lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu jadilah dia seorang
di antara orang-orang yang menyesal.
Itulah kisah yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam Al-Qur’an. Kisah yang pasti mengandung pelajaran. Sebagaimana yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala tegaskan dalam ayat yang lain:
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ
لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat
pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita
yang dibuat-buat.” (Yusuf:
111)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ
ءَادَمَ بِالْحَقِّ
“Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam
(Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya.” (Al-Maidah: 27)
Dalam ayat-ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa
Ta’ala memerintahkan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ”Ceritakanlah
–wahai Rasul– kepada Bani Israil, cerita tentang dua putra Adam ‘alaihissalam,
secara utuh, tidak menambah atau menguranginya.”
Ceritakanlah agar orang yang mau mengambil pelajaran
dapat memetik faedahnya, dengan penuh kejujuran, tanpa kedustaan,
sungguh-sungguh, dan bukan main-main.
Adam ‘alaihissalam sudah turun ke bumi. Hawwa pun
demikian. Iblis tak ketinggalan, dia diusir dan diturunkan ke dunia disertai
laknat hingga hari pembalasan.
Para ulama berbeda pendapat tentang di mana Adam dan
Hawwa diturunkan. Ada yang mengatakan bahwa Adam diturunkan di India, sedangkan
Hawwa di Jeddah. Ada pula yang berpendapat Adam turun di Shafa, sedangkan Hawwa
di Marwah.
Yang jelas, mereka semua diturunkan ke dunia ini.
Wallahu a’lam.
Adam dan Hawwa mulai merasakan pahit getir yang belum
pernah mereka dapatkan di dalam jannah. Beberapa waktu kemudian Hawwa mulai
mengandung dan tak lama dia pun melahirkan anaknya. Kemudian lahir pula putra
mereka berikutnya.
Anak-anak tersebut tumbuh dewasa di bawah pengawasan
kedua orangtua mereka. Mulailah mereka berusaha mengolah bumi ini, mencari
rezeki Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Setan yang telah bersumpah untuk menghancurkan manusia
dan menyeret mereka agar menyertainya di dalam neraka, tidak pernah berhenti
mencari jalan untuk menyesatkan mereka. Akhirnya dia melihat kesempatan
tersebut.
Ketika dua anak tersebut sudah tumbuh dewasa dan
masing-masing mempunyai usaha untuk penghidupannya, mereka diperintahkan untuk
mengeluarkan sebagian harta mereka sebagai korban untuk mendekatkan diri kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Qabil yang bekerja sebagai petani,
memilih harta yang akan dikorbankannya dari hasil panen sawah ladangnya. Dia
pun mengambil buah atau tanaman yang buruk sebagai korbannya. Sedangkan Habil,
bekerja sebagai penggembala ternak. Dia memilih untuk korbannya salah satu
ternaknya yang terbaik, paling gemuk dan sehat.
Dalam syariat umat terdahulu, tanda diterimanya suatu
korban adalah dengan turunnya api membakar korban tersebut.
Hari berikutnya, terlihatlah bahwa hasil panen yang
dipersembahkan Qabil masih utuh di tempatnya. Sedangkan ternak gemuk yang
dikorbankan Habil tidak ada lagi, tanda bahwa korbannya diterima. Kenyataan ini
menumbuhkan kedengkian dalam diri Qabil, dia berkata (sebagaimana dalam ayat):
Habil berkata kepadanya (seperti dalam ayat):
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ
الْمُتَّقِينَ
“‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari
orang-orang yang bertakwa.’ Apa dosa dan kesalahanku hingga harus kau bunuh?
Tidak lain karena aku bertakwa kepada Allah, yang takwa itu wajib atasku,
atasmu, dan atas setiap orang.”
Qabil tetap meradang dan ingin membunuh Habil.
Sementara Habil, tidak ada ucapan lain selain mengingatkannya:
لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ
لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَ
“Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku
untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu
untuk membunuhmu.”
Yakni, seandainya engkau memulai untuk membunuhku,
maka aku tidak akan memulainya. Aku pun tidak akan membalas seperti yang engkau
lakukan. Tapi aku hanya mengingatkan engkau kepada Allah Rabb semesta alam.
Artinya, dia tidak ingin membela dirinya[2]
bila dibunuh oleh saudaranya. Meskipun dia lebih kuat dan mampu mengalahkan
saudaranya. Lalu Habil menerangkan apa sebabnya dia tidak ingin membalas
(sebagaimana ayat):
إِنِّي أَخَافُ اللهَ رَبَّ
الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta
alam.”
Itulah alasan mengapa dia tidak ingin membalas. Orang
yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak akan berani berbuat dosa,
terlebih dosa-dosa besar.
Namun Qabil tidak bergeming mendengar nasihat
tersebut. Dia tetap pada keinginannya membunuh Habil. Maka Habil beralih
menakut-nakutinya dengan azab Allah Subhanahu wa Ta’ala, memberikan targhib dan
tarhib. Habil berkata kepada Qabil (sebagaimana dalam ayat):