Minggu, 11 Desember 2011

Kisah Qabi dan Habil, Pembunuhan Pertama di dunia


PEMBUNUHAN PERTAMA DI DUNIA
Sesungguhnya, wajib atas setiap muslim mengimani segala yang diberitakan di dalam Al-Qur’an. Termasuk dalam hal ini, kisah dua putra Adam yang dikisahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’anul Karim.
Kisah ini menjelaskan betapa buruknya akibat kedengkian, kezaliman, dan kejahatan serta permusuhan dalam kisah dua putra Adam tersebut, baik pemberian nama mereka itu shahih atau tidak.[1]
Baik disebabkan perebutan calon istri, sebagaimana dinukil sebagian ulama, ataukah sebab lainnya. Yang jelas, tujuannya adalah kita memahami sebab dan akibat yang sama berikut hukum yang diberlakukan di balik kisah tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (Al-Maidah: 27-31):
Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa. Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam. Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.”
Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah (Habil). Maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.
Itulah kisah yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an. Kisah yang pasti mengandung pelajaran. Sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tegaskan dalam ayat yang lain:
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat.” (Yusuf: 111)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ
Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya.” (Al-Maidah: 27)
Dalam ayat-ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ”Ceritakanlah –wahai Rasul– kepada Bani Israil, cerita tentang dua putra Adam ‘alaihissalam, secara utuh, tidak menambah atau menguranginya.”
Ceritakanlah agar orang yang mau mengambil pelajaran dapat memetik faedahnya, dengan penuh kejujuran, tanpa kedustaan, sungguh-sungguh, dan bukan main-main.
Adam ‘alaihissalam sudah turun ke bumi. Hawwa pun demikian. Iblis tak ketinggalan, dia diusir dan diturunkan ke dunia disertai laknat hingga hari pembalasan.
Para ulama berbeda pendapat tentang di mana Adam dan Hawwa diturunkan. Ada yang mengatakan bahwa Adam diturunkan di India, sedangkan Hawwa di Jeddah. Ada pula yang berpendapat Adam turun di Shafa, sedangkan Hawwa di Marwah.
Yang jelas, mereka semua diturunkan ke dunia ini. Wallahu a’lam.
Adam dan Hawwa mulai merasakan pahit getir yang belum pernah mereka dapatkan di dalam jannah. Beberapa waktu kemudian Hawwa mulai mengandung dan tak lama dia pun melahirkan anaknya. Kemudian lahir pula putra mereka berikutnya.
Anak-anak tersebut tumbuh dewasa di bawah pengawasan kedua orangtua mereka. Mulailah mereka berusaha mengolah bumi ini, mencari rezeki Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Setan yang telah bersumpah untuk menghancurkan manusia dan menyeret mereka agar menyertainya di dalam neraka, tidak pernah berhenti mencari jalan untuk menyesatkan mereka. Akhirnya dia melihat kesempatan tersebut.
Ketika dua anak tersebut sudah tumbuh dewasa dan masing-masing mempunyai usaha untuk penghidupannya, mereka diperintahkan untuk mengeluarkan sebagian harta mereka sebagai korban untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Qabil yang bekerja sebagai petani, memilih harta yang akan dikorbankannya dari hasil panen sawah ladangnya. Dia pun mengambil buah atau tanaman yang buruk sebagai korbannya. Sedangkan Habil, bekerja sebagai penggembala ternak. Dia memilih untuk korbannya salah satu ternaknya yang terbaik, paling gemuk dan sehat.
Dalam syariat umat terdahulu, tanda diterimanya suatu korban adalah dengan turunnya api membakar korban tersebut.
Hari berikutnya, terlihatlah bahwa hasil panen yang dipersembahkan Qabil masih utuh di tempatnya. Sedangkan ternak gemuk yang dikorbankan Habil tidak ada lagi, tanda bahwa korbannya diterima. Kenyataan ini menumbuhkan kedengkian dalam diri Qabil, dia berkata (sebagaimana dalam ayat):
لَأَقْتُلَنَّكَ Aku pasti membunuhmu!”
Habil berkata kepadanya (seperti dalam ayat):
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.’ Apa dosa dan kesalahanku hingga harus kau bunuh? Tidak lain karena aku bertakwa kepada Allah, yang takwa itu wajib atasku, atasmu, dan atas setiap orang.”


Qabil tetap meradang dan ingin membunuh Habil. Sementara Habil, tidak ada ucapan lain selain mengingatkannya:
لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَ
Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu.”
Yakni, seandainya engkau memulai untuk membunuhku, maka aku tidak akan memulainya. Aku pun tidak akan membalas seperti yang engkau lakukan. Tapi aku hanya mengingatkan engkau kepada Allah Rabb semesta alam.
Artinya, dia tidak ingin membela dirinya[2] bila dibunuh oleh saudaranya. Meskipun dia lebih kuat dan mampu mengalahkan saudaranya. Lalu Habil menerangkan apa sebabnya dia tidak ingin membalas (sebagaimana ayat):
إِنِّي أَخَافُ اللهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ
Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam.”
Itulah alasan mengapa dia tidak ingin membalas. Orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak akan berani berbuat dosa, terlebih dosa-dosa besar.
Namun Qabil tidak bergeming mendengar nasihat tersebut. Dia tetap pada keinginannya membunuh Habil. Maka Habil beralih menakut-nakutinya dengan azab Allah Subhanahu wa Ta’ala, memberikan targhib dan tarhib. Habil berkata kepada Qabil (sebagaimana dalam ayat):